Sejarah Singkat Tahun Baru Masehi
Melansir laman NU Online, secara historis penetapan 1 Januari sebagai awal tahun bermula dari reformasi kalender oleh Kaisar Julius Caesar pada abad ke-1 SM (Julian Calendar).
Sistem ini kemudian disempurnakan dan diresmikan kembali oleh pemimpin Katolik tertinggi, Paus Gregorius XIII pada tahun 1582, yang kemudian dikenal sebagai Kalender Gregorian. Bangsa Eropa Barat kemudian mengadopsinya secara luas pada tahun 1752 hingga kini menjadi acuan waktu di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Mengingat sejarahnya yang lekat dengan tradisi Romawi dan agama Nasrani, para ulama memiliki pandangan berbeda dalam menyikapi perayaannya.
1. Pendapat yang Melarang
Sebagian ulama berpendapat bahwa merayakan tahun baru Masehi hukumnya adalah terlarang atau haram. Argumen utama kelompok ini berlandaskan pada larangan tasyabbuh (menyerupai kaum kafir) dan menghindari bid'ah.
Dalil Larangan Tasyabbuh
Dalam Islam, mengadopsi tradisi yang menjadi ciri khas agama lain atau nilai yang tidak selaras dengan syariat sangat dilarang. Hal ini merujuk pada firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 120 yang artinya:
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka..."
Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud:
"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka."
Pandangan Ibnu Taimiyah
Mengutip Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan dua faktor utama mengapa perayaan ini dilarang:
Asing bagi Islam
Perayaan ini tidak pernah dipraktikkan oleh generasi Salafus Shalih.
Perbuatan Bid'ah (Diada-adakan tanpa dalil syar'i)
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa tidak halal bagi Muslim melakukan hal-hal yang menjadi syiar khusus hari raya non-Muslim, seperti:
- Menyediakan makanan khusus.
- Menyalakan api/lilin (kembang api).
- Meliburkan ibadah atau pekerjaan khusus untuk perayaan tersebut.
Bahkan dalam buku The Tausiyah karya David Alfitri, disebutkan bahwa niat baik atau mengisi malam tahun baru dengan aktivitas positif tidak serta-merta mengubah status hukumnya menjadi halal jika dasarnya adalah tasyabbuh.
2. Pendapat yang Membolehkan
Di sisi lain, terdapat pandangan ulama yang membolehkan perayaan tahun baru Masehi, namun dengan catatan ketat: harus bersahaja, proporsional, dan tidak melanggar syariat.
Fatwa MUI dan Ulama Kontemporer
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa merayakan atau memberi ucapan selamat tahun baru Masehi bukanlah tindakan yang haram secara mutlak, selama tidak berlebihan dan menjaga ketertiban umum.
Hal ini sejalan dengan pandangan Syekh Athiyyah Shaqr (Mantan Mufti Agung Mesir). Beliau menganalogikan hal ini dengan kisah Kaisar Rusia Alexander III dan tradisi "Sham Ennesim" di Mesir yang awalnya tradisi lokal/nasional. Beliau berfatwa:
"Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak." (Fatawa Al-Azhar, juz X).
Pandangan Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki
Ulama terkemuka dari Haramain ini menjelaskan dalam bukunya, Mafahim Yajibu an Tushahihah, bahwa peringatan momen bersejarah (seperti Maulid, Isra Mi'raj, atau pergantian tahun) adalah bagian dari tradisi (adat), bukan ritual agama.
Karena dianggap sebagai masalah adat/kebiasaan, maka:
- Tidak dikategorikan sebagai sunnah (ibadah).
- Namun juga tidak bertentangan dengan prinsip agama.
Beliau menekankan bahwa bahaya yang sebenarnya adalah jika seseorang meyakini bahwa perayaan tersebut disyariatkan oleh agama, padahal tidak.
Berdasarkan paparan di atas, perbedaan pendapat ulama bermuara pada sudut pandang: apakah perayaan ini dianggap sebagai ritual keagamaan (tasyabbuh) atau sekadar tradisi budaya (adat).
Dzikir Malam Tahun Baru: Bukan Tasyabbuh dengan Orang Kafir
Apakah dzikir yang dilakukan pada malam tahun baru dapat dikategorikan sebagai tasyabbuh bi al-kuffar? Jawabannya jelas tidak. Tasyabbuh dengan orang kafir lebih mengarah kepada meniru tradisi atau kebiasaan yang memang merupakan ciri khas dari mereka, dengan niat dan tujuan yang sama seperti yang mereka lakukan. Dalam hal ini, niat dan tujuan dari dzikir yang dilakukan pada malam tahun baru sangat jelas: untuk mengingat Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, bukan untuk meniru perayaan atau kebiasaan non-Muslim. Dengan kata lain, kegiatan dzikir ini lebih pada upaya mengisi waktu dengan hal yang bermanfaat, jauh dari maksiat, dan tidak ada kaitannya dengan meniru perayaan tahun baru yang berasal dari budaya non-Muslim.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, mari kita lihat sebuah contoh yang sering dijadikan perdebatan, yaitu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Jika kita menggunakan logika yang sama seperti dalam kaidah "tasyabbuh bi al-kuffar", maka peringatan Maulid Nabi pun bisa dianggap haram karena mirip dengan perayaan Natal. Padahal, sejarah mencatat bahwa salah seorang pemimpin Muslim yang besar, Shalahuddin al-Ayyubi, mengadakan peringatan Maulid Nabi sebagai sarana untuk membangkitkan semangat perjuangan umat dan mengenang perjuangan Nabi Muhammad SAW. Hal ini dilakukan dengan restu para ulama pada waktu itu, dengan tujuan yang sangat mulia: untuk menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah dan memotivasi umat untuk mengikuti jejak perjuangan beliau.
Tujuan dan Niat dalam Ibadah
Intinya, dalam Islam, niat dan tujuan sangat menentukan apakah suatu perbuatan bisa dianggap sebagai ibadah atau tidak. Dzikir pada malam tahun baru, seperti halnya ibadah lainnya, tergantung pada niat pelakunya. Jika tujuan utamanya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengingat-Nya, dan menghindari perbuatan maksiat, maka hal tersebut jelas bukan merupakan tindakan yang dilarang atau dikategorikan sebagai tasyabbuh bi al-kuffar.
Sebagaimana kaidah yang sangat terkenal dalam ilmu fiqih, "Jika seseorang tidak sibuk dalam ketaatan, pasti sibuk dalam kemaksiatan." Dalam konteks ini, jika umat Islam tidak mengisi waktu malam tahun baru dengan kegiatan yang mendekatkan diri kepada Allah, maka mereka kemungkinan besar akan terjerumus dalam kegiatan yang tidak produktif dan penuh dengan maksiat. Oleh karena itu, tidak ada pilihan ketiga: jika bukan beribadah, maka bisa saja terjerumus dalam kemaksiatan. Oleh karena itu, mengisi malam tahun baru dengan dzikir adalah pilihan yang sangat baik dan sesuai dengan tujuan agama Islam, yang mengajarkan umatnya untuk selalu beribadah dan mengingat Allah, kapan saja dan di mana saja.
Kesimpulan: Mengisi Tahun Baru dengan Dzikir
Jadi, apakah mengadakan dzikir di malam tahun baru termasuk tasyabbuh bi al-kuffar? Jawabannya adalah tidak. Dzikir di malam tahun baru adalah bentuk ibadah yang sah, selama dilakukan dengan niat yang tulus karena Allah. Tidak ada yang salah jika umat Islam memilih untuk mengisi malam tersebut dengan dzikir, doa, atau kegiatan ibadah lain, karena ini adalah cara yang baik untuk menghindari perbuatan maksiat dan menjadikan waktu tersebut bermanfaat. Seperti yang telah disebutkan, ibadah bergantung pada niat dan tujuan. Jika tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka apapun bentuknya, termasuk dzikir malam tahun baru, akan mendapatkan pahala dan diterima oleh Allah SWT.
Wallahu a'lam.







0 Comments:
Posting Komentar